Aaaa

Senin, 25 Agustus 2008

pelantikan OSIP 2008/2009

tepat hari ahad kemarin, 24 agustus 2008 OSIP Pon-Pes Al-mukhlishun YIC periode 2008/2009 resmi dilantik . Adapu formaturnya sebagai berikut:
  • Ro'is Am : Teguh Gumilar R
  • Ro'isah : Heti Damayanti
  • Sekertaris : Denisa Khoerul Insani
  • Bendahara : Mela Mustaqimah


  • Seksi-seksi
    • Pendidikan : Robi'atul Adawiyah & Tantan Taufiq Rahman
    • Keamanan : Lati Setiawati & Restu Fera
    • Kebersihan : Ayi Nurmilah & Dini Lutfiani Mujaqi
    • Kesehatan :Agnis Nurmala & Sulastri Rahayu
    • Kesenian : Sofiyanti & Devi Aditya Ningsih

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, OSIP periode kali ini mengalami perubahan, terlihat dari susunan sekertaris dan bendahara hanya di pegang oleh akhwat, hal ini di akibatkan kekurangan personil angkatan tahun ini. perubahan juga terjadi terjadi pada posisi Ro'is dan Sie. Olahraga yg tidak kami adakan, hal ini juga disebabkan kekurangan personil selain itu khusus Sie. Olahraga kami menilai pengadaan Sie. ini kurang efektif dan efisien

Senin, 04 Agustus 2008

musibah

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, ibunda saudara kita Dian, hari minggu kemarin meninggal. mohon do'a dari semuanya. jadikan semua ini ibroh bagi kita semua bahwa maut bisa datang kapanpun dan dimanapun. begitupun yang terjadi dengan Ibunda Dian. kejadian ini terjadi saat Dian dan Ibunya menaiki sepeda motor.kala itu terjadi senggol menyenggol antara motor yang dokendaari Dian dengan sebuah gerobak kerupuk. Saat senggolan terjadi Ibu Dian yang saat itu duduk menyamping jatuh dan naas sebuah truk yang mengikut di belakang.... maaf kami tidak sanggup menceritakan kejdian setelah itu.....

Minggu, 03 Agustus 2008

Sholat Buah Isro Miraj

Sholat Buah Isro` Mi`raj

Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambanya pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsha, yang telah Kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat Kami (QS. Al Isra’ [17] : 1)

Setiap memasuki bulan Rajab, umat Islam antusias memperingati perjalanan monumental Rasulullah dari Mekkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina (isra`) dan naiknya beliau ke langit (mi’raj) dalam rangka menerima risalah shalat lima waktu yang dilaksanakan umat Islam saat ini.

Kesemarakan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj terserbut sepertinya melupakan kontroversi perihal bagaimana Nabi Muhammad melakukannya; apakah dengan jasad atau hanya ruhnya saja? Memang persoalan ini tidak banyak diungkap secara lugas dan jelas. Biasanya para penceramah hanya menyinggung persoalan apakah perjalanan dengan jasad atau ruh itu sambil lalu. Itupun biasanya hanya merupakan penegasan bahwa perjalanan itu dengan jasad. Dalam arti, Nabi Muhammad-ketika melakukan isra’ dan mi’raj-benar-benar melakukannya dengan jasad (badan), karena hanya dengan itu, kedua peristiwa tersebut mempunyai makna yang luar biasa bagi orang yang beriman. Berbeda dengan jika hanya dipahami dengan ruh saja di mana nilainya tidak lebih dari sebuah mimpi.

Di kalangan ulama tafsir sendiri terjadi silang pendapat perihal itu yang disebabkan perbedaan cara pandangan terhadap kata, bi `abdihi dalam surah al-Isra` ayat 1. Ulama yang mendukung perjalanan dengan jasad (badan) berpendapat bahwa kata `abd (hamba) tidak bisa ditafsirkan dengan lain selain dengan sesuatu yang terdiri dari badan dan ruh. Oleh sebab itu, bagi penganut faham ini, penafsiran kata ‘abd dengan menambah ruh secara tersirat di depannya, bertentangan dengan sifat i`jaz (sifat keluarbiasaan) yang ingin ditunjukkan Allah melalui momentun itu. Dan, menurutnya, jika perjalanan hanya dengan ruh saja, tentunya kafir Quraisy tidak melakukan penentangan yang luar biasa, karena bagi mereka hal itu merupakan suatu yang mustahil.

Sedangkan bagi golongan yang mengatakan dengan ruh saja (bi ruh ‘abdihi) tidak mungkin perjalanan itu dilakukan dengan jasad, karena ketidakmungkinan tadi. Dan mengenai anggapan pihak pertama yang mengatakan jika itu dilakukan dengan ruh akan mengurangi sifat i`jaz bukan suatu yang sangat mendasar, karena persoalan utamanya adalah iman kepada ajaran yang dibawa Nabi. Jadi persoalan utamanya adalah iman kepada apa yang dibawa Nabi bukan masalah bagaimana kedua momentum itu terlaksana. Sebab al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai hal itu. Prof. Ahmad Baiquni, MSc., PhD (alm) sependapat dengan aliran kedua itu dan dalam hal ini sepertinya ia terinspirasi oleh buku Near-Dath Eexperience (Hidup Sesudah Mati) yang menceritakan perihal pengalaman orang-orang yang pernah mengalami mati suri.

Terlepas dari persoalan kontroversi perihal bagaimana Nabi ber-Isra’ dan ber-Mi`raj, yang jelas hal itu bukan merupakan persoalan yang sangat esensial, karena persoalan sesungguhnya dalam kedua momen besar itu adalah perintah untuk menjalankan shalat. Semestinya, setiap kali umat Islam merayakan kedua peristiwa besar itu, mengevaluasi apakah shalat-shalat sebelumnya telah memenuhi tuntutan Nabi Muhammad.

Pada masa sekarang, fenomena keagamaan memang semarak yang ditandai dengan antusiasmenya masyarakat dalam mengikuti acara-acara yang berkaitan dengan agama, mulai dari tahajud bersama, zikir bersama, dan lainnya. Hanya saja, pada saat fenomena keagamaan itu meningkat, ada fenomena lain yang tidak kalah semaraknya, seperti semaraknya perjudian dan bentuk-bentuk kemasiatan lainnya. Semestinya, ketika fenomena keagamaan tersebut menggeliat menurunkan fenomena kemaksiatan tersebut. Dan, sesuai dengan fakta bahwa Indonesia dihuni oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas, pelaku-pelaku kemaksiatan tersebut mayoritasnya sudah pasti orang Islam juga. Adakah fenomena itu sejalan dengan keyakinan masyarakat saat ini bahwa manusia berkualitas saleh maka setan penggodanyapun akan setara dengannya, sehingga manakala fenomena keagamaan meningkat tandingannyapun akan semakin meningkat juga.

Memperhatikan hal itu, apakah karena pengaruh sekularisme atau karena kedangkalan pemahaman agama, saat ini sepertinya sudah berkembang opini bahwa agama hanya berkaitan dengan ibadah (shalat, haji, zakat, puasa, dan lainnya) sedangkan di luar itu merupakan persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan agama. Opini tersebut jika tidak mendapatkan perhatian serius akan semakin memarjinalkan peran agama dalam lingkup rumah ibadah saja. Padahal, selaku umat Islam semestinya menghayati, firman Allah, “Sesungguhnya shalat (bisa) mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS, Al Ankabut [29]: 45). Akan tetapi, jika sesorang sudah rajin shalat, namun tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, perlu dipertanyakan bagaimana ia melakukannya.

Dalam rangka memberikan pemahaman yang benar mengenai bagaimana shalat semestinya dilakukan oleh setiap muslim, ulama memberikan distingsi antara pengertian ada’ atau ta’diyah dan pengetian iqamah yang dalam bahasa Indonesia masing-masing berarti menunaikan dan mendirikan. Kenapa persoalan pemilihan kosa kata Arab tersebut menjadi perhatian ulama dalam rangka memberikan pemahaman yang benar, karena secara filosofis kedua kata tersebut mempunyai implikasi berbeda. Kata ada’ dan ta`diyah lebih banyak berorientasi kepada aspek formal saja, sedangkan iqamah selain menekankan pelaksanaan aspek formal yang benar, aspek isoteris dalam shalat mesti mendapatkan perhatian yang serius dari seorang mushalli agar shalat yang dilakukannya benar-benar memberikan pencerahan kepada pelakunya sehingga tujuan dari shalat sebagaimana disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut benar-benar bisa terwujud. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pemenuhan kewajiban shalat-di samping nas mereferensi penggunaan kata iqamah ulama juga menggunakan kosa kata serupa dalam penjelasan mereka agar umat Islam dalam melakukan rukun Islam ke dua itu tidak semata-mata memenuhi kewajiban, tapi sebagai kebutuhan untuk pencerahan jiwa. Bukankah Allah telah berfirman, Hanya dengan berzikir hati menjadi tenang? Dan, shalat sebagai bentuk zikir tertinggi semestinya berdampak kepada hal itu. Dalam rangka menuju kepada maksud tersebut. Mahmud Muhammad Thaha, setelah mengutip hadis Nabi yang maksudnya bahwa shalat bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan membuka mata hati pelakunya, mengatakan, Maknailah shalatmu!

Menurut Mahmud Muhammad Thaha, dalam kitabnya Risalah al-Shalah (Terjemahan LKIS: Shalat Perdamaian), shalat merupakan sebuah metode jika dilakukan secara berulang-berulang, akan dapat melihat ke dalam diri, bertemu dengan jiwa kita sendiri, hidup berdampingan dengannya, mengenali, dan mewujudkan perdamaian dengannya. Hal itu, karena kita hidup berdampingan dengan alam lahir tenggelam dalam angan-angan indera kita, terlena dengan itu semua sehingga melupakan hakekat yang terpusat di balik yang ditutupinya. Allah menjadikan alam lahir sebagai petunjuk bagi hakekat tersebut, bukan sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, umat Islam wajib memperhatikan sarana itu, agar tetap terjaga guna mengingat Allah. Bukankah Nabi pernah bersabda, Manusia itu tidur, apabila mati, barulah mereka terjaga? Untuk menjaga manusia agar senantiasa terjaga dari lupa dan kesalahan adalah dengan mengingat Allah, dan shalat merupakan salah satu metode sekaligus yang utama untuk itu. Berkaitan dengan itu, menurutnya sangat penting bagi umat Islam untuk mencapai tingkatan shalat seorang muslim, bukan hanya sampai tingkatan shalat seorang mukmin. Apa perbedaan di antara shalat kedua golongan itu? Memperhatikan penjelasannya dalan bukunya, terlepas dari maksud khususnya yang diinginkannya dari pemberian istilah mukmin dan muslim, apa yang dimaksud dengan shalat seorang mukmin adalah orang-orang yang melakukan shalat sekedar memenuhi kewajiban semata, sedangkan yang dimaksud seorang muslim adalah orang-orang ketika mendirikan shalat memenuhi kriteria ihsan, yaitu mereka ketika beribadah seakan melihat Allah, meskipun ia tidak melihat-Nya, tapi yakin bahwa Allah melihat mereka. Dengan kata lain, dalam pandangan Mahmud Muhammad Thaha, shalat mukmin baru sampai taraf ada’ atau ta’diyah sedangkan shalat muslim adalah sudah sampai kepada taraf iqamah. Jenis shalat yang terakhir itulah-menurutnya-yang akan memberikan pencerahan kepada pelakunya seperti yang disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut.

Oleh sebab itu, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj pada bulan Rajab ini, semestinya dijadikan evaluasi bagi setiap muslim dalam melaksanakan perintah shalat. Apakah shalat yang dilakukan berdampak kepada ketenangan jiwa dan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika hal itu tidak dilakukan, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj hanya akan melahirkan budaya konsumtif dan menguntungkan sedikit peceramah saja. Sedangkan shalat sebagai media pencerahan jiwa diabaikan.

Detak-Detik Isro Miraj

Bangsa Indonesia untuk kesekian kalinya harus berbesar hati, berlapang dada, dan berjiwa besar untuk dapat bermuhasabah. Melihat ke kedalaman nurani kita. Menghitung-hitung, sudah berapakah jumlah musibah yang mendera dan sampai kapankah ini semua akan berakhir?

Tanggal 12 September nanti atau 27 Rajab 1425 H, umat Islam akan memperingati detik-detik penggalan sejarah paling menentukan dalam kehidupan Rasulullah SAW. Peristiwa dahsyat ini akan melahirkan peta baru perjalanan Islam di masa-masa awal perkembangannya melalui sebuah perjalanan insaniyah sekaligus ilahiyah dalam "Babad Isra' dan Mi'raj".

Sebuah perjalanan kaya nuansa dalam aura alam malakut, dari Masjidil Haram di Makkah, Arab Saudi, menuju Masjidil Aqsa di Palestina untuk selanjutnya bermuara di as-Sidrotil Muntaha

Menyambut Isro Miraj

Banyak pandangan dan cara yang dilakukan orang ketika bulan Rajab tiba diantaranya; Pertama, ada yang biasa-biasa saja, dia tidak merasa kedatangan bulan yang memiliki makna dan kandungan yang berharga, akibatnya dia tidak pernah malakukan kegiatan dan amaliah yang mampu meningkatkan kualitas ibadah, kelompok ini lebih dikenal dengan kelompok moderat, kedua yang menyambut dengan kegiatan khusus seperti melakukan peringatan Isro Mi’raj (Rajaban). Mereka panggil Kyai, Ustadz, Ajengan untuk menyampaikan tausiah. Namun setelah peringatan tersebut ternyata tidak memberikan perubahan dalam peningkatan amaliah (ibadah), dan ketiga yang menjadikan Rajab sebagai “Pasar Ibadah”. Rajab dijadikan kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah seperti shalat-shalat sunnat, puasa sunnat, shadaqah, dan sebagainya. Lalu dimanakah posisi kita (ikhwan TQN Pontren Suryalaya) ? Sebelum menjawab hal itu kita lihat dulu hakikat Rajab itu sendiri.

Rajab di ambil dari kata Tarjiib (Ta’dim) artinya mengagungkan. Bulan Rajab termasuk Asyhuru al-Huruum (bulan yang diagungkan Allah) selain bulan Zulqa’dah, Zulhijjah, dan Muharram. Sejarah mencatat pada bulan Zulqa’dah, Zulhijjah, dan Muharram adalah bulannya peperangan antara umat mukmin dan kafir. Sedangkan Rajab dijadikan Allah sebagai bulan “Genjatan Senjatanya”. Namun saat ini orang-orang Yahudi Rajab tidak lagi mengagungkannya bahkan Yahudi di Libanon dan Palestina sedang membantai umat Islam. Siapakah yang mampu menjadikan Rajab sebagai “Pasar Ibadah”? Meraka adalah orang yang sedang belajar mengamalkan Tarekat Mu’tabaroh (tarekat yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits) dan dibimbing oleh guru Mursyid yang Kamiil wa al-Mukkamiil. dan Insya Allah kita (pengamal TQN Pontren Suryalaya) termasuk bagian dari kelompok ini. Amin.

Ada fenomena menarik yang terjadi di kalangan umat Islam di Indonesia dan patut kita cermati. Secara umum umat Islam memiliki semangat yang lemah dalam ibadah. Hal ini dapat kita lihat dari contoh berikut ini :
Banyak diantara kita (umat Islam) yang lebih senang mendengar penjelasan-penjelasan tentang Islam yang ringan-ringan saja Kita senang jika ada Kyai yang menyampaikan keterangan ayat al-Quran yang mengandung makna Islam itu ringan. Contohnya dalam firman Allah yang artinya : “ setelah melaksanakan shalat wajib maka bertebaranlah kamu sekalian…” Keterangan tersebut mereka pahami sebagai indikasi bahwa Islam adalah ringan. Kita tidak usah banyak zikir setelah shalat, tapi bertebaran mencari rizki. Ditempat lain ditemukan lagi hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah ra. bahwa : “shalat tarawih itu delapan rakaat bukan dua puluh rakaat”, itupun dianggap sebagai petunjuk Islam ringan dan banyak contoh yang lain. Akibat dari pemahaman itu, lahirlah umat Islam yang memiliki semangat ibadah yang lemah. Kecuali itu, ketika melihat ada umat Islam yang rajin dan banyak melakukan ibadah dianggap sesuatu yang bid’ah (tidak ada contoh dari rasulullah SAW), termasuk pandangan terhadap shalat Rajab dan Nisfu Sya’ ban, dianggap ibadah bid’ah.

Secara jujur, sebagai dalil naqi, al-Quran tidak hanya berisi Nas melainkan Isyarah. Seperti dalam berfirman Allah : “ dan minta tolonglah kamu sekalian kepada Allah dengan sabar dan sholat “. Ayat ini mengandung isyarah bahwa ketika kita ditimpa berbagai penyakit, bencana, dan sejenisnya minta tolonglah kepada Allah dengan melaksanakan shalat. Memang tidak ada dalam al-quran yang menyatakan tentang shalat sunat Lidafi’l Balai’, Rajab dan Nisfu Sya’ban. Namun dalam hadits rasulullah yang tertulis dalam kitab al-Ghonyyah Litholibi Thariqi al-Haq karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani q.s. sudah jelas tentang dasar anjuran melaksanakan shalat tersebut. Dalam Ihya ‘Ulum ad-Diin, karya Imam al-Ghazali ra. pun tertulis jelas Jadi bagi ikhwan TQN PP. Suryalaya tidak perlu ragu lagi akan legalitas shalat sunat Rajab dan Nisfu Sya’ban dan shalat-shalat sunnat yang diamalkan di kalangan ikhwan TQN Pontren Suryalaya. Apalagi Syekh Mursyid, Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifn ra sudah lebih mafhun dan memberikan contoh lebih dahulu. Berkaitan dengan Rajab, banyak hikmah yang dapat kita ambil guna mengikuti Isro dan Mi’rajnya rasulullah SAW. salah satunya ialah mengapa yang diberangkatkan itu bukan kita melainkan nabi Muhammad. Jawaban ini tersirat adalam kata LinuriyahuuMin Aayatina yang artinya untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Nabi Muhamad sudah mampu mentafakuri kekuasaan Allah yang ada dibumi ini, oleh karenanya Beliau diangkat Allah melalui peristiwa Isro dan Mi’raj untuk mentafakuri kekuasaan Allah yang belum ditafakurinya. Sementara kita boro-boro mentafakuri yang di sana, kekuasaan di bumi dan yang ada dalam diri kita saja belum mampu kita tafakuri dengan baik. Mengapa rambut kita terus bertambah, dimanakah golongan rambut kita, dan sejumlah pertanyaan yang belum dapat kita jawab, kecuali dengan zikir LAAILAAHAILLALLAH. Zikir media Isro dan Mi’rajnya umat Islam.

Selain itu kata yang digunakan itu dalam ayat Isro Mi’raj, ‘Abdihii bukan bi Muhammadin ? dengan itu Allah mengharapkan kita menjadi hambanya. Kalau kita butuh contoh hamba Allah, Muhamadlah contohnya. Kalau tidak ketemu Muhammad lihatlah ‘Ulama sebagai pewaris para nabi. Pangersa Abah Warosatul Anbiyya, sebab tugas Pagersa Abah menjadi penerus/pewaris nabi. Ada empat syarat untuk menjadi pewaris nabi yaitu : ilman (‘ilmunya), wakaamaalan (kesempuraan dirinya), wa’amalan (pengamalanya) dan watakmiilan (dan upaya penyempurnaan orang lain). Jangan mengaku ‘ulama warosatul ambiyaa kalau belum memiliki empat syarat tersebut. Tugas ulama adalah pewaris bukan disanjung.
‘Abdi berarti pelayanan, sebuah arti yang tidak begitu bergengsi. Namun ketika kata ‘Abdi digabungkan dengan kata Allah menjdi ‘Abdullah / ‘Abdihii yang artinya hamba Allah memiliki makna yang tinggi dan sebuah predikat yang sangat diinginkan manusia yang beriman dan berislam. Muhammad di Isro dan di Mi’rajkan Allah karena beliau sudah menjadi hamba Allah (‘Abdullah). Hikmahnya, kita akan mampu Isro dan Mi’raj kalau sudah menjadi hamba Allah (‘Abdullah). Kita sudah diberi alat (buroq) yang digunakan untuk melakukan Isro Mij’rajnya yaitu zikrullah. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang mampu ber-Isro dan Mi’raj. Amin ya robbal ‘alamin.
Oleh : KH.Zezen Zaenal Abidin Bazul Ashab

Template by:
Free Blog Templates